She can never be replaced

She can never be replaced

As time comes and goes
Even if you’re no longer there
nothing could ever change me
you’re the only one in these corners of my heart

Only you
who can make me fall and love
you’re more than merely beautiful
because you can never be replaced

(Marcel – Takkan Terganti)

Happy reading^^

Disini.. Di tempat inilah pertama kali aku bertemu dengan Syafa, Syafa Kim. 2 tahun yang lalu. The best day ever. Tak pernah terbesit di otakku bahwa aku akan bertemu dengan gadis yang bahkan menurutku lebih dari kata sempurna. Aku tau tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi dia mampu membuatku mengucapkan dia lebih dari sekedar sempurna. Sedangkan aku? Aku terlalu jauh dari kata sempurna untuk wanita seperti dia. Awalnya aku hanyalah teman sekelasnya di sebuah sekolah menengah pertama.

Dia adalah gadis yang sangat sulit kudapatkan, yah setiap kali aku menyatakan cinta dan memintanya menjadi pacarku alasannya selalu tidak menyukaiku dan tidak mau berpacaran dulu. Sebenarnya ini semata-mata hanya untuk mempermainkannya, bukan karena aku benar-benar menyukainya. Namun sikapnya yang berbeda dengan gadis-gadis yang pernah singgah di hidupku membuatku terpacu untuk mendapatkannya dan seiring dengan berjalannya waktu aku benar-benar jatuh cinta pada Syafa. Benar-benar jatuh cinta, cinta pertamaku, karena sebelumnya aku tak pernah benar-benar menyukai gadis-gadis yang kupacari, hanya untuk memenuhi nafsu semata, tapi aku bukan penjahat wanita, hanya untuk bermain.

Sekarang aku dan Syafa duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas. Tapi keadaannya sudah berbeda, kini aku menjadi pacarnya. Yah ini adalah jawaban dari pengorbananku dan aku percaya Tuhan akan menjawab semua kerja kerasku dan inilah jawabannya.

“Kyu.. Kau tak pantas mendapatkan gadis seperti dia” tak jarang aku mendengar kata-kata itu dari siswa-siswa yang lain.

Mereka salah. Aku yang tidak pantas mendapatkan wanita seperti dia. Benar-benar tak pantas. Mungkin dari segi fisik, orang-orang bisa menilai seperti itu, tapi dari segi lain mereka salah menilai. Syafa memang cantik, sangat cantik. Keindahan wajahnya dilengkapi dengan bola mata yang besar, hidung mancung dan rambut panjangnya. Dia juga pintar, sangat pintar. Namun ada kekurangannya, aku bisa menerima kekurangannya dan aku juga yakin dia tidak ingin memiliki kekurangan itu, kekurangan yang muncul di saat dia bahkan ingin menggapai dunianya. Dia kehilangan tangan kanannya karena osteosarcoma yang menggerogoti tubuhnya. Osteosarcoma adalah kanker tulang primer. Aku kurang mengerti dan tidak akan pernah mau mengerti. Aku hanya akan menyakiti diriku jika mengetahui lebih lanjut mengenai osteosarcoma, itu berarti aku tau sebagaimana rasa sakit yang dirasakan Syafa. Aku benci mengetahui dia sakit, aku hancur. Dia diagnosa mengidap osteosarcoma saat kami menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama. Operasi untuk memusnahkan sel-sel kanker sudah tidak berguna jika dilihat dari kondisinya. Syafa terlambat memeriksakan dirinya ke dokter yang mengibatkan kanker tersebut menyebar ke seluruh tubuhnya. Solusi terbaik adalah amputasi. Dan pada akhirnya Syafa menjalani operasi amputasi tangan kirinya. Awalnya aku merasa terpuruk, sangat terpuruk. Aku mengurung diri selama 3 hari dan bahkan menjauhinya. Namun aku sadar, aku tak sanggup jauh dari Syafa dan hanya akan memperlihatkan seberapa egoisnya aku, tapi aku memang terlalu munafik untuk mengatakan aku tidak sedih, karena aku sangat hancur dengan kenyataan itu. Kenyataan itu bagaikan air laut yang menghapus tulisan yang telah terukir di pasir pantai. Kini dia menggunakan tangan palsu, tidak masalah. Aku bisa menerimanya. Lagipula, aku yakin Syafa juga tidak pernah mau dirinya menjadi seperti ini. Dan cintaku terlalu dalam untuk meninggalkan Syafa hanya karena tangannya yang telah tiada. Namun dengan segala ketabahan, dia menghadapi semuanya tanpa mengeluh pada siapapun, dia terlalu pelit untuk membagi rasa sakitnya. Ketabahan, kegigihan dan keceriannya yang selalu mampu membuatku terkagum-kagum. Kekurangan itu tidak menjadi penghalang kebahagian dan masa depannya.

“Kekurangan itu tidak menjadi penghalang kebahagiaan dan masa depanku, aku yakin Tuhan telah menyiapkan jalan yang indah untukku.” Begitu katanya dengan senyuman yang tak terlepas dari wajahnya. Mungkin aku tidak akan sekuat itu jika aku menjadi Syafa. Dan mereka salah jika menilai aku tak pantas untuk Syafa, karena Syafa-lah yang tak pantas mendapatkanku.

“Heii.. Sadarlah kau tak pantas mendapatkan seorang Cho Kyuhyun. Lepaskanlah dia gadis cacat” Aku segera mencari arah suara itu. Aku mengenal suara itu, sangat mengenal suara itu. Setelah menemui titik terang arah suara itu aku menuju ke sumber suara itu.

“Ada masalah?” ucapku pada Jessica, pacar pertamaku saat di sekolah menengah pertama dulu. Aku dulu sempat menyukainya, tapi bukan mencintainya, hanya sebatas rasa kagum karena talenta yang dimiliki. Aku menarik tangan kanan Syafa yang tadi dimaki Jessica. Ini bukan pertama kalinya Syafa mendapat perlakuan seperti ini, tapi ini pertama kalinya Jessica yang melakukan ini pada Syafa.

Semua rasa kagumku pada Jessica seolah lenyap dalam sekejap karena kata-katanya yang menggoreskan luka di berlianku, Syafa.

Tiba-tiba Syafa menghentikan langkahnya. Aku menatapnya. Tidak terlukiskan sedikitpun kekecewaan di wajah Syafa. Dia memang begitu tabah dan ikhlas menghadapi perlakuan setiap orang, sejahat apapun orang itu dia akan tetap menuai senyuman pada orang itu. How lucky I am!

 

“Kyu.. Aku fikir mereka benar, kau tidak pantas mendapatkan wanita cacat sepertiku” katanya dengan begitu ikhlasnya. Terkadang aku bertanya-tanya apa dia benar-benar mencintaiku. Dia benar-benar seperti merelakan aku meninggalkannya, tapi aku tidak akan pernah sanggup meninggalkannya, apapun yang terjadi.

“Syafa..” geramku kesal. Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Dia hanya diam dan tidak mengungkapkan kerapuhan hatinya akibat cacian manusia-manusia itu.

“Mau sampai kapan kau akan bertahan denganku Kyu?” tanyanya.

“Hingga maut memisahkan kita” jawabku lantang. Ini bukan hanya omong kosong, ini ikhlas dari hatiku yang terdalam.

“Baiklah. Aku akan menunggu sampai kau bosan dan meninggalkan aku” katanya kemudian melepaskan tangannya dari genggamanku dan berlalu begitu saja.

Syafa.. Kau tidak akan pernah menemukan waktu dimana aku meninggalkanmu, karena kekuranganmu tak akan melenyapkan rasa cintaku padamu yang terlanjur terlalu dalam ini.

“Aku akan menjauhinya.” Ucap Syafa pada seseorang, entah siapa. Akupun masih belum menemukannya, langkah kakiku mengikuti arah sumber suara itu.

Dia sendiri. Syafa sendiri. Lalu apa maksudnya? Lupakanlah. Aku tidak suka membani fikiranku dengan sesuatu yang tidak pasti.

“Ayo pulang..” kataku sambil meraih tangan kanannya.

“Ayah akan menjemputku” jawabnya sembari melepaskan tangan kanannya.

“Biar aku tunggu sampai ayahmu menjemputmu” kataku sembari mengambil posisi duduk di sebuah tempat duduk yang tersedia.

“Itu ayahku. Aku pulang dulu, Kyu” serunya sambil berjalan menuju ke luar gerbang sekolah menuju ke sebuah mobil hitam.

Entah ini hanya perasaan atau apa. Aku tidak tau. Tapi aku rasa Syafa menjauhiku belakangan ini, semenjak insiden Jessica memakinya. Setiap kali aku menjaknya untuk pergi pulang bersama, pasti selalu ada alasannya. Saat jam istirahat, biasanya aku selalu bersama dengan dia, tapi dia justru sibuk dengan hal tak jelas. Apa mungkin yang dimaksud akan menjauhi seseorang itu adalah menjauhiku?

“Syafa..” panggilku saat bel pulang baru saja berdering.

“Uh?”

“Aku mau bicara.”

“Aku juga”

“Ayo..” Aku meraih tangan kanannya dan berjalan menuju ke taman sekolah.

Aku duduk di bangku yang tersedia di taman sekolah itu sambil memandang lurus. “Bicaralah” ucapku.

“Aku mau kita putus” kata Syafa.

Sontak aku segera menghadap ke arah Syafa dengan tatapan tak percaya. “Jangan bercanda” kataku sambil tertawa. Aku tau dia hanya mengetesku saja.

“Aku serius” katanya dengan lantangnya. Tak ada raut atau nada menyedihkan dalam dirinya.

“Syafa.. Kita sudah 2 tahun dan kau..”

“Apa yang salah? Aku ingin kita putus”

Aku memandangnya kesal. “APA KAU TIDAK PERNAH BERFIKIR BETAPA AKU SANGAT MENCINTAIMU? DAN SEKARANG DENGAN MUDAHNYA KAU BILANG PUTUS? TAK PERNAHKAH KAU BERFIKIR SEBAGAIMANA RASA CINTAKU PADAKU? KAU FIKIR AKU TIDAK HANCUR MELIHAT KONDISIMU YANG SEPERTI INI? KAU FIKIR PADA AWALNYA AKU MUDAH MENERIMA KEADAANMU YANG SEPERTI INI? TIDAK TAUKAH KAU SEBERAPA HANCURNYA PERASAANKU? TAPI CINTAKU TERLALU KUAT UNTUK MENINGGALKANMU HANYA KARENA KEKURANGANMU. KAU MENGAJARKAN AKU BANYAK HAL YANG TAK PERNAH AKU DAPATKAN DARI WANITA LAIN. AKU MENCINTAIMU, SANGAT MENCINTAIMU DAN AKU BISA..”

Syafa menyerahkan sebuah surat yang rapi di dalam amplop padaku sambil memandang lurus.

Seoul Hospital Centar.
Hasil pemeriksaan Syafa Kim.

 

Begitulah tulisan yang tertulis rapi di amplop itu.

Jantungku berdegup kencang dan menandakan sesuatu yang tidak baik. Aku harap ini bukanlah suatu kenyataan pahit.

Positif mengidap osteosarcome

 

Begitu tulisan yang terdapat pada barisan paling bawah. Aku seperti terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.

Kanker itu.. Dia kembali datang..

“Aku mungkin harus di amputasi” kata Syafa dengan begitu tegarnya. Setegar inikah dia?

“Aku akan cacat total” ucapnya lagi. Tak ada nada kesedihan dalam setiap kata-kata yang terucap dari bibirnya.

Aku.. Aku menangis! Aku bahkan tak sanggup melihat Syafa kembali digerogoti penyakit itu. Tapi mengapa dia yang digerogoti penyakit itu nampak seperti anak TK yang sedang asyik bermain? Aku tau dia rapuh, aku tau dia hancur, aku tau dia sakit hanya saja dia terlalu pelit untuk menungkapkan perasaannya.

“Aku tau kau tak bisa menerima ini Kyu.. Lepaskanlah aku dan cari kebahagianmu sendiri. Aku akan baik-baik saja, bahkan aku sudah rela jika Tuhan mengambil nyawaku” katanya tanpa terbesit air mata. Tuhan.. Mengapa mahlukmu yang satu ini lebih dari kata tegar? Ajarkan aku Tuhan.

Aku terdiam. Iya benar, aku tidak bisa menerima kanker itu kembali menghampiri wanita yang sangat berarti untukku ini. Speechless!

 

“Aku tau kau tidak mungkin mau menerima gadis cacat sepertiku lagi. Bahkan selama ini aku selalu bertanya-tanya apakah kau benar-benar mencintaiku atau hanya karena kasihan.”

Aku masih tetap diam dengan air mata yang terus terjatuh tanpa henti. Aku bahkan lebih dari sekedar hancur. Aku ingin memusnahkan penyakit yang bernama ‘osteosarcoma’ itu. Brengsek!

It’s okay. I am fine! Find your real happiness, Cho Kyuhyun..” ucapnya dengan suara yang sedikit bergentar.

Dia bangkit dari duduknya. Memberikanku sebuah liotin yang di dalamnya terdapat fotoku dan Syafa. Aku masih diam membeku. Bahkan rasanya untuk melangkah saja terlalu sulit bagiku. Kenyataan ini membunuhku dengan kejam.

Aku memperhatikan punggungnya dair tempatku duduk. Langkah kakinya. Tangannya. Caranya berjalannya. Aku tak sanggup. Apakah ini adalah akhir dari semuanya?

Aku bangkit dari tempatku duduk dan berlari menuju ke Syafa. Kupeluk Syafa dengan erat dari belakang. Aku menelungkupkan kepalaku di bahunya dan menangis sejadi-jadinya. Aku benci kenyataan ini. Andai aku bisa hidup di dreamland yang indah aku akan membawa Syafa ke sana dan tak mau kembali ke dunia nyata yang terlalu pahit.

Air matanya terjatuh. Aku bisa merasakan air matanya jatuh di tanganku. Bukan hal aneh jika Syafa menangis, siapa yang tidak akan menangis jika mengetahui kenyataan bahwa dirinya harus cacat total dan mungkin bahkan penyakit brengsek itu akan membuatnya kehilangan kakinya dan mungkin setelah itu kanker itu akan tetap menggerogoti tubuhnya. Aku benci kenyataan!

“Kyuuuu…” ucap Syafa lemah lembut dengan suara yang tetap bergetar.

“Syafa.. Please, jangan sembunyikan seberapa rapuhnya dirimu. Biarkan aku merasakan sedikit saja penderitaan yang kau tanggung sendiri..” ucapku penuh dengan keputusasaan.

“Mengapa kau begitu kuat, Syafa? Aku saja yang tidak merasakan rasa sakitnya merasa hancur sehancurnya. Aku tidak sanggup..”

“Aku kuat karena aku tau Tuhan selalu bersamaku dan apapun yang terjadi adalah memang yang seharusnya terjadi. Life is not choice, but life is destiny..”

 

“Tuhan? Mengapa dia begitu jahat padamu? Mengapa dia merenggut kebahagianmu? Ini tidak adil. Mana kekuasaan Tuhan?” tangisku semakin jadi.

“Kyu.. Kau tidak boleh bicara seperti itu..” bentaknya.

“Tapi..”

Syafa melepaskan tanganku yang melingkar di lehernya dan menghadap ke arahku. Tatapannya menghentikan ucapanku, seolah tenggorokanku tersekat. “Aku milik Tuhan, jadi apapun yang terjadi padaku adalah hak Tuhan. Kita hidup untuk mati, Kyu” katanya. Pipinya basah. Dia menangis. Aku rapuh, aku seharusnya  bisa menguatkannya, bukannya bahkan membuatnya semakin merasa buruk.

Aku meraih tangan kanannya, karena tangan palsu kirinya kaku. “Syafa.. Aku mohon dengan sangat.. Izinkan aku menemanimu dan jangan biarkan dirimu menanggung semuanya sendiri. Aku mohon”

“Tapi..” air matanya mulai berjatuhan.

“Syuutttt” aku meletakkan tanganku di bibirnya kemudian meraihnya ke dalam pelukanku. Kuatkan aku, Tuhan agar aku tidak roboh karena kehancuran ini.

6 months later..

“Sampai kapan aku bisa melihat dunia ini?” ucapnya sembari memandang lurus pemandangan sekitar taman rumah sakit. Taman ini indah sekali, namun dikelilingi orang-orang yang mungkin sudah tidak memiliki harapan hidup.

“Syafa..” geramku sambil berjongkok di depan kursi roda yang di dudukinya.

Syafa cantik sekali.. Sangat cantik. Meskipun wajahnya pucat, matanya sayu dan rambutnya yang sudah habis akibat kemoterapi yang dijalaninya selama 6 bulan belakangan ini. Tangan kanannya telah diamputasi dan dia menggunakan tangan palsu. Tapi kanker itu dengan rakusnya masih tetap menyebar ke tubuh Syafa dan Syafa harus menjalani kemoterapi. Syafa putus sekolah, cita-citanya mengambang begitu saja. Bahkan berjalanpun dia sudah tidak sanggup, dia memang tidak lumpuh, tapi tenaganya tak mampu menopangnya untuk berdiri dengan kakinya sendiri.

“Bagaimana kuliahmu?” tanyanya sambil tersenyum dan membenarkan topi di kepalanya, topi itu digunakan untuk menutupi kepalanya yang sudah tidak berambut.

“Baik-baik saja.” jawabku tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku darinya.

Do your best! Here I am praying the best for you” katanya sambil terus memaparkan senyumannya.

Aku mengangguk-ngangguk mengiyakannya. Jauh di dalam hati kecilku aku bertanya sampai kapan aku akan melihat senyuman ini?

Pada 1 bulan pertama proses kemoterapi Syafa, aku selalu menangis karena tak sanggup melihat Syafa merintih kesakitan karena efek kemoterapi yang dijalaninya. Tapi lama kelamaan aku terbiasa melihatnya seperti itu, meskipun tak kupungkiri di dalam hati kecilku selalu ada rasa sedih, tak tega dan tak sanggup melihatnya seperti ini. Tapi aku harus lebih kuat darinya, agar aku bisa menguatkan dia yang lebih lemah dariku.

“Kyu..” panggilnya.

Aku yang sempat mengalihkan perhatianku beralih melihatnya dan mataku seolah menyerukan ‘ada apa’ padanya.

“Aku fikir ini adalah saatnya kau meninggalkan aku dan mencari kebahagianmu yang sesungguhnya. You can’t be always like this, your life must go on with or without me.”

“How could I leave you if you are my happiness?”

 

Gerakannya seperti, tangannya hendak menyentuh tanganku, namun segera dia hentikkan. Inilah yang menyakitkanku. Dia sering lupa kalau tangan kanannya sudah diamputasi dan digantikan dengan tangan palsu. Ini menyiksaku.

“I am not kidding, Kyu” ucapnya dengan tatapan serius. Sudah sering kali dia begini. Seandainya hatiku bisa dengan mudah menghapus namanya dan memoriku tentang dia bisa hilang begitu saja akupun tidak akan pernah mau. Dia adalah mahluk terindah yang Tuhan kirimkan untukku.

“Sudah berkali-kali aku mengatakan ini padamu, Syafa.. Please jangan buat aku mengulang kata-kata yang sama, aku benci!” ucapku sembari membuang muka. Aku muak. Aku tau dia tidak ingin aku menderita. Justru jauh darinya yang membuat aku menderita.

“Kyu.. Mungkin waktuku sudah tidak lama lagi. Aku sudah pasrah jika pada akhirnya aku harus kembali padaNya”

“Aku juga tidak tau kapan malaikat pencabut nyawa akan mencabut nyawaku. Entah di detik berikutnya, menit berikutnya, jam berikutnya, itu rahasia Tuhan dan aku tidak pernah mau mengusik itu. Tapi aku juga sadar bahwa kemungkinan kesembuhanku itu 0,01 persen. Kanker itu terlalu ganas” katanya sambil memandang lurus. Hatiku seperti tertusuk-tusuk. Sakit, pedih, hampa..

“Kau selalu bilang aku ini terlalu pelit untuk membagi kesakitanku. Iya memang, aku takut kalian lemah karena aku membagi apa yang aku rasakan ini. Jika aku bisa kembali pada kondisiku yang sehat, aku akan kembali dan meminta pada Tuhan agar tidak ada lagi yang sepertiku. Rasanya sangat sakit, luar biasa sakitnya..”

”Amputasi.. Kemoterapi.. Transfusi darah.. Operasi.. Semuanya menyakitkan.”

Air mataku mengalir begitu saja tanpa aku bisa mengontrolnya. Ini pertama kalinya dia menceritakan kesakitannya, selama ini dia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

“Aku iri pada teman-teman sebayaku. Bisa sekolah, bisa hidup normal, bisa menikah, bisa mempunyai anak. Tapi aku? Aku hanya gadis lemah yang hanya bisa bertopang di atas kursi roda.” Suaranya mulai bergetar.

“Aku mungkin bisa mengatakan bahwa aku percaya semuanya akan indah pada waktunya, tanpa bertanya kapan waktunya. Tapi setiap malam aku menangis bertanya pada Tuhan kapan penderitaan ini akan berakhir. Baik berakhir dalam artian aku sehat total atau meninggalkan dunia ini.. Aku rapuh..” isakkannya mulai terdengar.

Aku menelungkupkan kepalaku di atas pahanya. Menangis sejadi-jadinya. Aku tak sanggup lagi mendengar penderitaannya.

“Rambutku yang terus rontok setiap hari hingga tak meninggalkan sisa bagaikan cambuk. Hatiku hancur setiap kali melihat helaian rambutku tercabut dari akarnya, tapi aku selalu menutupinya dengan senyuman agar kalian tidak pernah tau sebagaimana sakitnya perasaanku ini”

“Kau tau? Sejak kecil aku sudah menyusun masa depanku. Tapi sekarang? Semuanya sudah pupus. Setiap helaian rambutku yang tercabut menambah kepupusan itu”

“Heii Kyu.. Jangan menangis” kata Syafa.

Aku membangunkan kepalaku setelah sebelumnya menghapus air mataku.

“Air mataku masih tersisa. Hapuslah, maaf aku tidak bisa menghapuskan air matamu” ucapnya sambil tersenyum. Lenyap sudah rasanya sakit yang kurasakan jika melihat senyumannya, tapi kata-katanya menyadarkan aku pada kenyataan bahwa dia sudah tak memiliki kedua tangannya.

Aku mengusap-ngusap mataku dan berusaha menghilangkan kantukku. Hari ini ibu dan ayah Syafa yang menjaganya dan aku bisa pulang beristirahat. Aku sudah tidur sekitar 1 hari penuh tanpa bangun. Ponselku sengajaku silent agar aku bisa sedikit melepas diri.

Kuraih ponselku yang berada di meja sebelah ranjangku. Astaga. Ada 100 panggilan tak terjawab. Segera kubuka list-nya. Aku menyipitkan mataku saat melihat semuanya dari ibu Syafa. Ada apa?

Ku tekan tombol hijau untuk menelfonnya kembali, mungkin ada yang penting.

“He.. APA?”

Aku segera bangkit dari tempat dudukku dan langsung bersiap-siap menuju ke rumah sakit. Syafa kritis. Fikiranku berantakan. Aku tidak bisa berfikir jernih.

“Bagaimana Syafa?” tanyaku pada ayah Syafa yang duduk di depan ruangan Syafa, setelah aku sampai di rumah sakit.

“Dia koma” katanya dengan nada datar. Aku rasa ayah Syafa sudah menyiapkan mental untuk ini sejak jauh-jauh hari karena tau mungkin hidup Syafa tak akan lama lagi.

Aku masuk ke dalam ruangan Syafa dengan segenap perasaan yang hancur. Aku melihat Syafa terbaring lemah dengan bermacam-macam alat medis di tubuhnya. Dia pucat, pucat pasi.

Aku mendekatinya. Mengelus pipinya dan berharap dia akan bangun. Tuhan, apakah ini adalah akhir dari semuanya? Jangan ambil dia dulu, aku mohon.

“Syafa.. Bangun sayang” bisikku di telinganya.

Aku dapat menghirup aroma tubuhnya. Sangat wangi. Dia tetap menggunakan parfum dalam keadaan seperti ini? Aku sedikit tersenyum. Tapi aku sadar setelah ini berlalu takkan ada lagi yang seperti Syafa. She is only one!

 

A month later

 

Sama sekali tidak ada perubahan dari keadaan Syafa. Aku masih belum bisa menerima jika Syafa pergi begitu saja tanpa aku pernah mengatakan bahwa dia takkan pernah terganti apapun yang terjadi. Lalu apa jadinya aku jika dia tak ada? Selama satu bulan ini juga aku hanya berada di rumah sakit, melalaikan semuanya. Aku tidak akan bisa berfikir apa-apa jika Syafa seperti ini. Aku butuh dia, setidaknya cukup senyumannya, tapi dia tak pernah bangun untuk memberiku senyuman. Badannya juga menyusut, sangat kurus dan pucat pasi.

“Kyu..” Panggil ibu Syafa.

“Iya” jawabku dengan nada lemah. Iya sepertinya aku memang sedang kelelahan.

“Ini.. Syafa meminta ibu memberikan ini padamu jika dia koma dan sudah tidak ada harapan hidup lagi” ucap ibu Syafa dengan nada yang biasa saja. Iya memang mungkin cuman aku saja yang belum bisa menerima jika Syafa harus pergi.

Aku meraih secarik kertas yang diberikan Nyonya Kim, ibu Syafa. Jantungku kembali berdegup kencang. Perlahan aku membuka surat itu.

Dear Cho Kyuhyun

 

Aku menulis surat ini sehari sebelum aku diamputasi. Tulisanku tidak rapi ya? Iya memang sangat tidak rapi. Aku benci saat tulisanku yang indah harus berganti dengan tulisan yang tidak jelas. Tak apalah. Tapi kau tetap bisa membacanya kan?

Mungkin saat kau membaca surat ini aku sudah sekarat atau mungkin sudah mati. Tak pernah terbesit dalam benakku bahwa aku harus mengidap kanker ganas ini. Awalnya aku sangat amat takut, tapi kau dan yang lainnya membuatku mensirnakan ketakutan itu. Terima kasih.

Kyu.. Sekali lagi aku mohon, carilah wanita yang jauh lebih baik dariku, yang bisa mengisi hari-harimu tanpa harus meropotkanmu. Jika kau terus bersamaku, kau hanya akan menghabis-habiskan waktumu untuk gadis yang nantinya juga akan mati. Hahaha

Pedih sekali rasanya harus melihatmu mengorbankan hidupmu hanya demi aku, wanita tidak berguna. Terkadang aku ingin membunuh diriku sendiri karena terlalu sering merepotkan kalian.

Ini pertanyaan yang tak pernah aku mau jawab, mengapa aku tidak pernah membagi kesakitanku pada orang lain. Dan sekarang aku akan menjawabnya. Simple, karena rasanya sangat amat sakit. Aku bisa terlihat kuat karena aku ingin menguatkan kalian, tapi sebenarnya aku sangat sakit. Terkadang aku ingin berteriak saking sakitnya, tapi aku sadar itu tak ada gunanya, hanya akan menambah penderitaan kalian. Terkadang aku ingin menangis karena rasanya sangat pedih, tapi aku takut air mata orang-orang disekitarku terbuang sia-sia. Itulah sebabnya kenapa aku selalu menahan rasa sakitku dan selalu berusaha tersenyum tak peduli sebesar apa rasa sakitnya. Aku hanya tidak ingin menambah kesakitan kalian.

Terima kasih banyak karena kau dan yang lainnya selalu berada di sampingku, menguatkan aku. Terima kasih banyak. Mungkin ribuan kata terima kasih tak akan mampu membalas kebaikan kalian. Terima kasih banyak sekali lagi karena telah menenami hari-hariku yang pahit ini.

Jika aku bisa kembali, aku ingin tidak akan ada lagi yang sepertiku lagi.

Aku mohon pada kalian untuk bisa melepaskan aku. Aku terlalu sakit untuk terus bernafas. Setiap deruan nafasku sangat sakit, aku sudah tidak sanggup lagi, aku tidak kuat. Biarkan aku menemui penciptaku, relakan aku, biarkan aku pergi dan jangan iringi kepergianku dengan tangisan.

Dan Kyuhyun.. Kau harus tau satu hal, jika selama ini aku selalu bertindak seperti tidak menyayangimu dan kau berfikir begitu, kau salah besar karena aku sangat amat mencintaimu dan selalu berharap kau akan bahagia dengan wanita lain meskipun mataku terlalu lemah untuk melihatmu bersanding dengan wanita lain.

Terima kasih banyak. Sekali lagi terima kasih. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu.

 

Dari seseorang yang sedang menghadapi kematian.

 

Air mataku tak sanggup lagi kubendung. Gadis ini.

Apakah dia sesakit itu? Apakah dia semenderita itu? Apakah setiap deruan nafasnya menyakitinya? Apakah memang sebaiknya dia bertemu dengan penciptanya?

Aku mendekatkan diriku dengan wajahnya. Mencium keningnya dengan sepenuh hati.

Syafa.. Apa aku terlalu egois jika aku memintamu tetap hidup?

Air mataku menetes di wajahnya. Pedih sangat pedih..

Perlahan aku mendekatkan mulutku dengan telinganya. Kusiapkan mentalku. Aku hancur! Tak bisakah Tuhan membiarkan aku men-skip waktu yang terlalu kejam ini?

“Syafa.. Aku sangat amat mencintaimu” bisikku dengan isakkan yang semakin menjadi-jadi.

“Tapi jika memang berada di sini justru menyakitimu terlalu dalam,………… aku mer…aa..kuuu.. mer..reeellaaa..kanmuu kembali pa..daa..Nya” isakku.

Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Aku sedikit bisa mengontol perasaanku yang terlanjur hancur berkeping-keping.

“Pergilah jika memang kau ingin pergi. Pergi sayang…. Kembali padaNya…” tangisku yang mulai bisa terkontrol.

~tutttttttttttttttttttt~ suara alat yang memperlihatkan detak jantung Syafa menandakan jantung Syafa telah berhenti berdetak. Benarkah? Secepat itu? DEG!

Syafa.. Dia telah tiada.. Gadis itu telah tiada.. Gadisku telah kembali padanya.. Kucium keningnya dengan perasaan yang kembali tak terkontrol.. Syafaku telah pergi.. Syafaku.. Tapi aku juga tidak mau menyakitinya semakin dalam dengan membiarkan dia dalam kondisi seperti ini. Inikah akhirnya? DEG!

She can never be replaced!

 

——–

Tinggalkan komentar